Minggu, 19 April 2015

Infrastruktur Kesehatan di Indonesia dalam menghadapi AEC




Indonesia sebagai negara yang mengambil bagian dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) yang merupakan proyek negara anggota ASEAN yang bertujuan untuk meingkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN dan membentuk kawasan ekonomi antar negara ASEAN yang kuat. dalam cetak biru MEA, ada 12 sektor prioritas yang terdiri dari tujuh sektor barang yaitu industri agro, otomotif, elektronik, perikanan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, dan tekstil. Kemudian sisanya berasal dari lima sektor jasa yaitu transportasi udara, pariwisata, logistik, teknologi informasi, dan kesehatan.

Setelah memasuki Asean Community 2015, nantinya batas-batas antarnegara menjadi imajiner sehingga arus yang mengalir di sektor-sektor yang telah disebut diatas akan semakin bebas. Pada sektor jasa kesehatan yang tercakup dalam pilar Asean Socio-Cultural Community, tenaga kesehatan yang berada di negara anggota ASEAN dibebaskan untuk membuka praktek di negara lain di wilayah Asia Tenggara meskipun dalam pelaksanaannya, diberlakukan MRA (Mutual Recognition Arrangement) sebagai regulasi yang berlaku. MRA untuk jasa dokter, dokter spesialis (Mutual Recognition Arrangement on Medical Practitioners) ditandatangani di Cha am, Thailand pada tanggal 26 Februaari 2009 bersamaan dengan penandatangan MRA untuk sektor jasa dokter gigi dental practitioners (Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners) yang berlaku bagi dokter gigi, dokter gigi spesialis serta perawat gigi. Kedua MRA tersebut bertujuan untuk: 

1. ​Memfasilitasi mobilitas jasa tenaga kesehatan di dalam kawasan ASEAN;
2. ​Bertukar informasi dan menguatkan kerjasama dalam skema MRA jasa tenaga kesehatan;
3. Mempromosikan pengadopsian dan penerapan best practices (praktik terbaik) untuk standar dan kualifikasi;
4. ​Menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dan melatih para pelaku jasa medis.

Dengan jumlah penduduk Indonesia yang merupakan terbesar di ASEAN akan menjadi ‘pasar’ yang sangat menggiurkan bagi para tenaga kesehatan asing untuk kemudian membuka praktik di Indonesia. Dengan penambahan tenaga kesehatan dari luar negeri, rasio tenaga kesehatan per jumlah penduduk dipastikan akan meningkat. Di satu sisi , hal tersebut seharusnya dapat menjadi peluang untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia. Akan tetapi di sisi lain muncul tantangan bagi Indonesia dalam bidang kesehatannya, yaitu  tenaga kesehatan dalam negeri dikhawatirkan kalah dalam persaingan dengan tenaga medis asing dalam bidang pendidikan , infrastruktur, teknologi.

Berdasarkan data Centre for Internasional Trade Thailand (2012), kualitas tenaga medis masih Indonesia ditempatkan pada kualitas menengah. Adapun dalam hal teknologi, pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi di Indonesia dapat dikatakan tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Filipina dan Singapura. Yang menjadi kendala adalah dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk meningkatkan teknologi yang ada sementara pemerintah hanya mengalokasikan 2,2 % dari total health expenditure, jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Filipina bahkan Vietnam yang telah mengalokasikan dana sebesar 6,6%. Hal ini menjadi tantangan bagi sektor jasa praktisi medis untuk mengupayakan level kompetensi dokter Indonesia yang setara dengan dokter / dokter gigi / perawat/ perawat gigi dari negara tetangga/ASEAN lainnya.

Dalam bidang infrastruktur kesehatan , Indonesia memiliki total 746 RSU Pemerintah dan hanya 2 RSU yang masuk standar Internasional. Dari 746 RSU Pemerintah hanya 67.5% yang mempunyai sarana pemeriksaan anti HIV, 66.7% yang memiliki SPO pelayanan Gizi dan 62.9 % yang mampu membuat formula khusus gizi buruk, 62.8 % belum ditunjang oleh adanya kamar operasi yang baik dan lengkap. Dari total 746 RSU Pemerintah, hanya tersedia 101.039 buah tempat tidur untuk 230 juta jiwa rakyat Indonesia. Hanya terdapat 9005 Puskesmas untuk 230 Juta jiwa rakyat Indonesia yang berarti ada 1 puskesmas berbanding 35.000 jiwa. Dari total 9005 Puskesmas, Hanya 18,6 Persen yg memiliki sarana perawatan lengkap, 17.7 % yg dilengkapi fasilitas Listrik 24 Jam, hanya 56.7% yg memiliki alat komunikasi dan hanya 37,6 % yang memiliki Ambulans. Melihat kondisi infrastruktur kesehatan Indonesia yang masih kurang baik bahkan untuk  kebutuhan dalam negeri. Peningkatan jumlah serta pemaksimalan infrastruktur pendukung dalam hal ini teknologi yang digunakan tenaga kesehatan pada instalasi kesehatan pemerintah dan juga pada institusi pendidikan kesehatan yang memadai harus dilakukan sehingga daya saing, mutu dan kualitas dari tenaga kesehatan Indonesia akan semakin meningkat terutama dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean.


Program dan Komunitas Kesehatan Masyarakat


Wujudkan Kepedulianmu dalam Bentuk Nyata!

Di Indonesia sendiri terdapat berbagai komunitas, gerakan, maupun program yang bergerak di bidang kesehatan. Beberapa dari kelompok ini mampu memberikan kontribusi secara real terhadap masyarakat, baik yang diprakarsai oleh organisasi swasta/perusahaan maupun organisasi nirlaba.

Dewasa ini, patut disadari bahwa peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia penting adanya, khususnya kaum muda Indonesia. Hal ini patut mendapat perhatian khusus karena tidak dapat dipungkiri bahwa kaum muda ini akan menjadi penerus dan penggerak Indonesia di masa depan. Pembangunan kesehatan pada kelompok remaja merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan UU no.23 tahun 1993 tentang Kesehatan dan UU no.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Hal inilah yang menjadi salah satu concern kami. Ditambah lagi dengan adanya MEA yang mulai diberlakukan pada 2015 ini, kaum muda sekarang perlu diberikan pendidikan dan pintu kesempatan berkontribusi yang nyata, dalam hal ini terkusus di bidang kesehatan, dalam menghadapi MEA.

Menyadari hal tersebut, melalui blog ini kami membuat jembatan informasi antara pembaca kaum muda dengan berbagai pintu kesempatan, baik itu berupa komunitas, program, maupun organisasi yang dapat kamu ikuti sebagai salah satu penggerak bangsa di masa depan. Selain itu, kami juga menyediakan informasi kesempatan lain bagi masyarakat umum.


Entah akan menjadi peluang maupun ancaman, MEA akan tetap terlaksana. Maka dari itu kesiapan kita lah yang menentukan! Mulai kontribusimu dari sekarang sebelum terlambat!


·        UNALA: Klinik Kesehatan Reproduksi Remaja


Didirikan oleh UNFPA (The United Nation Population Fund) bekerjasama dengan Angsa Merah Foundation. United Nation Population Fund (UNFPA) membentuk dua klinik layanan kesehatan reproduksi untuk penduduk usia muda di Bantul dan Kota Yogyakarta. Dua unit pelayanan kesehatan reproduksi anak muda, yang dilabeli nama "Klinik Unala", itu merupakan proyek percontohan UNFPA pertama di Indonesia. 

Jose Ferraris, Direktur Perwakilan UNFPA di Indonesia mengatakan Yogyakarta dan Bantul menjadi pilihan lokasi proyek percontohan karena sekitar 24 persen populasinya merupakan kalangan usia muda. Populasi yang kini berusia 10-24 tahun itu merupakan penggerak perubahan ekonomi dan sosial dalam 15 tahun mendatang.



·        Pencerah Nusantara

Pencerah Nusantara adalah mengenai menciptakan perubahan pola pikir dalam masyarakat. Meskipun berpusat pada upaya kesehatan, mengobati penyakit bukanlah tujuan kami. Dengan adanya para Pencerah Nusantara, di harapkan akan menjadi perubahan paradigma mengenai kesehatan. Menjaga kesehatan adalah upaya mencegah kesakitan yang dilakukan bersama, dan para Pencerah Nusantara lah yang akan memulai perubahan ini.


Keterangan lebih lanjut bisa didapatkan di:


·        Jakarta Health and Wellness Community

Perkumpulan ini diperuntukkan bagi mereka yang mencintai semua hal yang berkaitan dengan kesehatan dan ingin memperluas jaringan dengan saling melengkapi pengalaman dan pengetahuan individu lainnya. Mari kita bersama-sama untuk saling mendukung, saling belajar, berbagi pengalaman dan tips. Hal yang dapat dilakukan anggota selama meetups: berbagi cerita seputar keberhasilan atau kegagalan, menemukan dokter yang direkomendasikan di Jakarta, pertukaran tips kesehatan, mencari mitra gym, berdiskusi mengenai makanan organik/gaya hidup vegan, berbagi informasi kesehatan, resep exchange, resensi buku, dll.



·        Pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR)
Pelayanan ini tersedia di Puskesmas PKPR (Puskesmas yang menerapkan PKPR). Di Puskesmas PKPR, tersedia tenaga kesehatan yang peduli dan siap melayani semua kelompok usia remaja. Disini remaja dilayani dengan sikap menyenangkan, dihargai dan diterima dengan tangan terbuka.

Kegiatan PKPR diantaranya penyuluhan, pelayanan klinis maupun konseling oleh pelaksana program, serta melatih konselor sebaya. Konselor sebaya yang dimaksud adalah kader kesehatan remaja yang telah diberi tambahan pelatihan interpersonal relationship dan konseling.

PKPR dilaksanakan di dalam gedung atau di luar gedung Puskesmas. Jumlah Puskesmas PKPR dari 26 provinsi yang melaporkan sampai dengan bulan Desember 2008 sebanyak 1611 puskesmas dan jumlah tenaga kesehatan yang dilatih PKPR sebanyak 2256 orang.


·        CCPHI (Company-Community Partnership for Health in Indonesia)


Kemitraan perusahaan-Masyarakat untuk Kesehatan di Indonesia (CCPHI) adalah non-profit yang mempromosikan dan memfasilitasi kemitraan antara perusahaan, LSM, dan pemerintah daerah bagi masyarakat yang sehat dan berkelanjutan


Tim CCPHI dan anggota dewan memiliki pengalaman yang luas bekerja dengan organisasi-organisasi di semua sektor di berbagai tantangan pembangunan, termasuk kesehatan, pendidikan, keragaman, kesetaraan gender, dan pengembangan masyarakat. Pengalaman kami meliputi pelatihan, penelitian, jaringan dan membangun kemitraan, pembuatan kebijakan dan pembuat kebijakan menasihati, dan akar rumput advokasi.

Website: http://www.ccphi.org/index.php/idn/beranda


Nasib Perawat di Masyarakat Ekonomi ASEAN



Apakah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berpengaruh pada sektor kesehatan suatu negara?


Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu negara, dan negara mempunyai regulasi yang ketat tentang kesehatan.  Dengan dibukanya kebebasan dalam sektor kesehatan, apakah perawat Indonesia mendapat tantangan atau peluang?    

Dalam kebebasan jasa dalam MEA, perawat merupakan salah satu jasa yang termasuk di dalamnya. Perawat yang memiliki sertifikasi dari negara masing-masing dan memiliki daya saing tinggi akan menikmati hasil dari MEA. Untuk meningkatkan Mutual Recognition Arragnment (MRA) di AEC, masing-masing negara memiliki Nursing Regulatory Authority (NRA) yaitu suatu badan yang ditunjuk oleh pemerintah untuk memastikan tenaga perawat memenuhi standar kualifikasi. ASEAN juga membentuk The ASEAN Joint Coordinating Committee on Nursing (A-JCCN) yang bertugas untuk mengharmonisasikan kebijakan-kebijakan di berbagai negara dan juga bertukar informasi. Dalam kesepakatan MRA, setiap negara harus mengakui kualifikasi/lisensi dari negara asal, namun tetap harus mengikuti peraturan negara dituju, disinilah bisa terjadi non tariff barriers.  Permintaan jasa perawat memiliki tren meningkat secara global dan MEA bisa berdampak akan adanya peningkatan permintaan. Namun, banyak negara yang memiliki entry barriers, sehingga perawat Indonesia akan sulit untuk memasuki suatu negara.  Rasio perawat terhadap penduduk pun masih sedikit, rasio perawat terhadap penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 1: 1400 artinya 1 perawat untuk 1400 penduduk, padahal menurut indikator Indonesia sehat 2010, rasio seharusnya sekitar 1 : 850. Kekurangan perawat yang sangat besar di Indonesia. Rasio perawat terhadap populasi di Malaysia pada tahun 2010 adalah 1 : 400, di Thailand pada tahun 2012, 1 : 150. Indonesia masih sangat kekurangan perawat, jika AEC dibuka nanti, bukan hal yang mustahil jika perawat-perawat dari luar negeri akan masuk dan bekerja di Indonesia. Indonesia perlu meningkatkan jumlah perawat di Indonesia, dan juga meningkatkan kualitasnya, negara-negara besar memiliki permintaan yang besar akan jasa perawat, dan hambatan perawat Indonesia adalah masalah bahasa dan keterampilan komputer, dan berpikir kritis. Pemerintah perlu meningkatkan jumlah institusi pendidikan perawat agar bisa menghasilkan perawat-perawat berkualitas. 
 Perkembangan institusi perawat di Indonesia memiliki problem utama, yaitu ketidakmerataan. semua berfokus di Jawa 




Dari tabel diatas, terlihat jelas bahwa pendidikan perawat masih terpusat di Jawa dan Sumatera, Pendidikan ini belum merata, dan pemerintah mempunyai peluang dengan membangun banyak institusi di berbagai daerah nusantara, namun tetap dengan kualitas yang baik, karena menurut Dikti, salah satu kelemahan adalah banyaknya pendidikan perawat yang terakreditasi kurang baik atau tidak terakreditasi. Indonesia harus menambah institusi perawat, karena negara ini pun masih kekurangan, dan ‘jatah’ perawat akan diambil oleh bangsa lain nantinya. Indonesia juga kekurangan perawat asing karena banyak lulusan keperawatan namun tidak berkarya di bidang keperawatan.  Masalah berikutnya adalah belum adanya konsil keperawatan atau board of nursing, adalah badan seperti konsil kedokteran , yang berfungsi badan regulator keperawatan yang mandiri yang diharapkan bisa menjamin dan meningkatkan kualitas mutu keperawatan di Indonesia.    Tahun 2014 lalu, pemrintah juga mengesahkan undang-undang keperawatan. Undang- undang ini mempunyai keuntungan bagi perawat, yaitu : 1. : Latar belakang lebih terstruktur 2. Kepastian perlindungan hukum untuk perawat 3. membentuk konsil keperawatan 4. kejelasan praktik 5. kejelasan praktik bagi perawat asing 6. kejelasan layanan pada pasien.  Dengan adanya undang-undang ini, juga bisa melindungi perawat Indonesia dari perawat asing. Menurut pasal 24 UU no 38 tahun 2004 : “Perawat Warga Negara Asing yang akan menjalankan praktik di Indonesia harus mengikuti evaluasi kompetensi.“ dan syaratnya dijabarkan di pasal selanjutnya. Konsil juga memiliki wewenang untuk menolak izin perawat asing.

Kesimpulan dari bahasan ini adalah sektor keperawatan Indonesia belum siap jika MEA segera dilaksanakan, karena akan diserbu oleh perawat asing, dan Indonesia harus menambah jumlah perawat yang kompeten, dengan membangun institusi keperawatan secara merata.


Sumber :
Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi jasa ASEAN (Makmur Keliat, Asra Virgianta, Shofwann Al Banna, Agus Catur Aryanto)
Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Perawat (Dikti)

Liberalisasi Dokter dalam AEC

Di penghujung tahun 2015 nanti akan resmi dimulainya sebuah era baru bagi ASEAN yang akan memulai sebuah integrasi negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia, dengan nama ASEAN Economic Community (AEC atau MEA, Masyarakat Ekonomi ASEAN). Tentunya menjadikan 10 negara ASEAN menjadi satu komunitas dan satu identitas bukanlah tugas mudah mengingat perbedaan sosial budaya, ekonomi, ideologi politik, dan kepentingan masing-masing negara. AEC akan menyentuh beberapa sektor vital dari sebuah negara, salah satunya kesehatan dengan fokus yang kita ambil adalah liberalisasi jasa praktisi medis (dokter). Bagaimanakah dampak dari penerapan AEC 2015 pada bidang jasa praktisi medis? 

Sektor kesehatan merupakan sektor yang terus mengalami peningkatan permintaan seiring dengan perkembangan dinamika penduduk. Dengan rasio ideal 40 dokter umum untuk 100.000 penduduk, saat ini Indonesia masih mengalami kekurangan dokter dimana baru terpenuhi sebesar 77,43%. Untuk dokter spesialis, dengan rasio 8,14 untuk 100.000 penduduk, sebenarnya sudah melewati target Indonesia pada tahun 2010 dengan rasio 6 untuk 100.000 penduduk. Namun persebarannya tidak merata dengan sebagian besar masih terpusat di Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Hal ini juga terlihat di bidang pendidikan untuk dokter yang masih terpusat di Pulau Jawa. Bahkan untuk tingkat spesialis, 75% pendidikan ada di Pulau Jawa. Tidak heran hal ini akan berdampak pada distribusi dokter di Indonesia. Sebaiknya pemerintah segera meningkatkan competitiveness dari dokter-dokter Indonesia dengan meningkatkan standar kompetensi agar dapat menyamakan dengan tingkat kompetensi dokter negara ASEAN lainnya. Pemerintah juga dapat memperbanyak institusi pendidikan dokter dan memberi perhatian mengenai persebaran dokter di Indonesia yang masih timpang.




Dari total GDP, pemerintah hanya menganggarkan sebesar 2,2% sementara negara- negara ASEAN lain berada di atasnya dengan Filipina, Thailand, Kamboja berada di atas angka 3% dan Malaysia dan Vietnam mencapai angka 6%. Hal ini berdampak pada teknologi kedokteran yang sebagian besar (sekitar 90%) masih harus mengimpor dari luar negeri. Belum lagi dengan minimnya anggaran untuk pelatihan penguasaan teknologi. Hal ini sangat disayangkan mengingat sektor kesehatan sangat vital karena berhubungan langsung dengan ketahanan negara.

Untuk masalah regulasi, liberalisasi jasa dokter AEC di Indonesia diatur oleh Kementrian Kesehatan bekerja sama dengan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Pemerintah harus perhatian terhadap UU kesehatan, UU praktik kedokteran, dan UU tenaga kesehatan agar tercapai harmonisasi mengenai regulasi yang fair baik bagi dokter Indonesia maupun dokter asing.

Mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi memberikan 4 (empat) syarat praktik bagi dokter asing di Indonesia. Menurut penulis pribadi, dua dari empat syarat ini akan menyulitkan Indonesia untuk menerima dokter asing. Bisa dilihat pada poin pertama “Dokter asing hanya diperbolehkan jika di bidang yang ia kuasai, tidak ada tenaganya di sini”. Disini pemerintah tidak jelas dalam memberikan standar seperti standar skill dokter asing, standar dari kata-kata “tidak ada tenaganya”. Selain itu, dengan banyak dokter lokal di suatu bidang belum tentu skill-nya sudah mumpuni dan sesuai standar semua. Lalu pada poin kedua “Mereka yang diperbolehkan bekerja di Indonesia untuk transfer teknologi atau pengetahuan sehingga harus bernaung di bawah (RS) pendidikan, bukan RS yang tak menyelenggarakan fungsi pendidikan”, menurut penulis, regulasi ini sudah fair, namun akan menyulitkan dokter asing untuk bekerja di Indonesia karena ruang bekerjanya dipersempit. Hal ini akan mempersempit kesempatan dokter asing untuk melakukan transfer teknologi dan transfer pengetahuan ke dokter-dokter Indonesia.  

Meskipun begitu, pemerintah sebaiknya juga memberikan regulasi yang dapat memberikan advantage bagi dokter Indonesia agar lebih kompetitif misalnya dengan memberikan persyaratan penguasaan bahasa Indonesia. Penguasaan bahasa ini juga penting untuk menjaga keamanan prosedur tindakan medis karena tidak semua pasien akan dapat berbahasa Inggris sebagai bahasa universal sehingga dokter asing yang praktik di Indonesia juga harus menguasai bahasa Indonesia. 

Kesimpulannya adalah dalam bidang kesehatan khususnya dokter, Indonesia masih belum siap untuk menghadapi AEC 2015. Hal ini dinilai dari, yang pertama, SDM tenaga medis (dokter) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang masih kurang, selain itu juga masalah distribusi dokter dan pendidikan dokter yang masih terkonsentrasi di Jawa. Yang kedua adalah regulasi dari pemerintah sendiri yang masih mempersempit ruang gerak dokter asing dan masih harus memberikan celah bagi dokter Indonesia untuk dapat lebih kompetitif. Pemerintah perlu terus mengawal perencanaan dan regulasi hingga nanti implementasi mengenai sektor kesehatan demi menjamin adanya transfer teknologi dan pengetahuan dari tenaga medis asing dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan Indonesia mengingat vitalnya sektor ini dalam sebuah negara karena berhubungan langsung dengan ketahanan negara.     

Sumber: 
1. Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN (Makmur Keliat, Asra Virgianita, Shofwan Al Banna, Agus Catur Aryanto Putro), Laporan Penelitian ASEAN Study Center UI dan Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia 
2. http://health.liputan6.com/read/707552/4-syarat-bila-dokter-asing-mau-praktik-di- indonesia 
3. http://pendidikankedokteran.net/index.php/56-pelatihan-dekan/298-keadaan- pendidikan-kedokteran-di-indonesia  

Dukungan Pemerintah Untuk Kesehatan Indonesia

Kesehatan merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia dan menjadi salah satu tanggung jawab Pemerintah. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kesehatan menjadi salah satu faktor penting untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas walaupun masih ada faktor lainnya yang mendukung seperti pendidikan. Jika dibandingkan negara ASEAN, Indonesia masih sangat membutuh pembangunan manusia di bidang kesehatan.

Sebagai salah satu tanggung jawab negara memelihara masyarakatnya, Kemenkes telah menyelenggarakan Program Indonesia Sehat sebagai upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang berperilaku sehat, hidup dalam lingkungan sehat, serta mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Apa saja Program Indonesia Sehat tersebut?
  1. PARADIGMA SEHAT
  2. PENINGKATAN DAN PENGUATAN LAYANAN KESEHATAN PRIMER
  3. JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Dalam paradigma sehat, Pemerintah berorientasi pada peningkatan dan perlindungan penduduk sehat dan bukan hanya penyembuhan orang sakit, sehingga kebijakan lebih ditekankan pada upaya  promotif dan preventif dengan maksud melindungi dan meningkatkan orang sehat menjadi lebih sehat dan lebih produktif  serta tidak jatuh sakit karena adanya upaya preventif.

Kegiatan paradigma sehat akan menuju pada:
  1. Penentu kebijakan pada lintas sektor untuk memperhatikan dampak kesehatan dari kebijakan yang diambil (hulu hingga hilir)
  2. Tenaga kesehatan (Nakes) yang dapat mengupayakan orang sehat tetap sehat atau tidak menjadi sakit, orang sakit menjadi sehat dan orang sakit menjadi tidak lebih sakit
  3. Instusi kesehatan yang memiliki standar dan mutu tarif dalam pelayananan ke masyarakat
  4. Masyarakat merasa kesehatan adalah harta yang paling berharga
Kementerian Kesehatan sendiri akan melakukan penguatan pelayanan kesehatan untuk tahun 2015-2019 yang meliputi:
  1. Kesiapan 6000 puskesmas di 6 regional
  2. Terbentuknya 14 RS Rujukan Nasional dan 184 RS Rujukan Regional. Untuk daerah terpencil dan sangat terpencil akan dibangun RS kelas D Pratama dengan kapasitas 50 tempat tidur untuk lebih mendekatkan pelayanan kesehatan rujukan. Untuk wilayah Papua akan didirikian 13 RS Pratama. Wilayah Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Sulawesi akan didirikan 55 RS Pratama.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah (http://www.jkn.kemkes.go.id/detailfaq.php?id=1)

Kartu Indonesia Sehat (KIS)
KIS merupakan wujud program Indonesia Sehat di bawah Pemerintahan Presiden Jokowi. Program ini menjamin dan memastikan masyarakat kurang mampu untuk mendapat manfaat pelayanan kesehatan seperti yang dilaksanakan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Selain itu, KIS merupakan perluasan cakupan PBI termasuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Bayi Baru Lahir dari peserta Penerima PBI; serta. KIS juga diharapkan memberikan tambahan manfaat berupa layanan preventif, promotif dan deteksi dini dilaksanakan lebih intensif dan terintegrasi.

Nusantara Sehat (NS)
Sebagai bagian dari penguatan pelayanan kesehatan primer untuk mewujudkan Indonesia Sehat, Kemenkes membentuk program Nusantara Sehat (NS). Di dalam program ini, dilakukan peningkatan jumlah, sebaran, komposisi dan mutu tenaga kesehatan yang berbasis pada tim dengan latar belakang berbeda mulai dari dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya (pendekatan Team Based). Intinya, tenaga kesehatan akan didistribusi secara merata sehingga seluruh masyarakat Indonesia dapat menikmati pelayanan kesehatan.

Keberadaan program pemerintah ini telah berkembang. Buktinya, saat ini kita dapat menikmati layanan BPJS berupa pengobatan murah. Akan tetapi, keberadaan program pemerintah yang ada ini masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya. Sebagai contoh, 
lembaga jaminan sosial milik Malaysia yang bernama Employee Provident Fund (EPF) telah menanggung sebanyak 12,5 juta pekerja. Begitu pula Singapura, dengan institusi Central Provident Fund (CPF) yang terdiri dari 116 ribu pengusaha dan 1,8 juta pekerja. Thailand juga memiliki lembaga jaminan Social Security Office yang terdiri dari 391.869 pengusaha dan 9,45 juta pekerja. Bahkan, Filipina dengan program Social Security Scheme (SSS) telah menanggung peserta sebanyak 8,9 juta tenaga kerja.

Melihat angka-angka tersebut, Pemerintah seharusnya mulai berpikir bagaimana cara menerapkan program yang efektif karena sesungguhnya program yang dicanangkan telah mewakili kepentingan masyarakat. Akan tetapi, pengaplikasiannya seringkali dinyatakan gagal apalagi masih banyak masyarakat kurang mampu  yang mengandalkan program tersebut. Jika hal tersebut dibiarkan, maka Indonesia tidak akan mampu memberikan pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Indonesia akan menjadi salah satu tujuan negara peserta AEC sehingga tanggung jawab negara dalam memberikan pelayanan kesehatan akan menjadi semakin besar. 


Sumber: 
http://www.depkes.go.id/article/print/15020400002/program-indonesia-sehat-untuk-atasi-masalah-kesehatan.html


Kesehatan Sebagai Salah Satu Modal Dasar Menghadapi AEC

Keberlangsungan ASEAN Economic Community (AEC), sudah ada di depan mata. Dalam menghadapinya, Indonesia perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing secara keseluruhan di dalamnya. Sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi penggerak utama roda perekonomian sehingga produktifitas dapat meningkat dan standar hidup yang lebih baik akan lebih tercapai. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi salah satu poin penting untuk mencapai sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Pembangunan manusia merupakan suatu upaya untuk memanusiakan manusia kembali dengan pencapaian kehidupan yang bermanfaat dari bayi hingga lanjut usia. Menurut United Nation Development Program (UNDP), skor IPM untuk Indonesia di tahun 2013 adalah sebesar 0,684. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya 2012 sebanyak 0,44%, yaitu mencapai angka 0,681. Besarnya skor tersebut ternyata hanya menempatkan Indonesia di posisi 108 dari 187 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, skor IPM Indonesia masih kalah cukup jauh dengan negara Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand (lihat tabel). Pertumbuhannya juga belum menunjukkan perubahan yang signifikan sehingga dari tahun 2000-2013 Indonesia hanya berhasil naik 4 peringkat.  Skor IPM ini menggolongkan Indonesia di kelompok medium dalam hal pembangunan manusia.


Kesehatan menjadi salah satu faktor dalam pembangunan manusia tersebut. Menurut Stauss dan Thomas (1996), pekerja yang produktif adalah pekerja yang memiliki status kesehatan yang baik. Kesehatan juga merupakan dimensi dan indikator utama dari kemampuan dan kesejahteraan manusia (Sen, 1985). Dalam Jumpa Pers Awal Tahun tentang program kerja Kemenkes di Jakarta (3/2), Menteri Kesehatan  Prof. Dr. dr. Nila F. Moeleok, Sp.M(K) mengatakan bahwa kesehatan merupakan sebuah investasi dari mulai balita agar otak anak bisa berkembang dengan baik dan dapat menghindari loss generation. Berdasarkan konstitusi World Health Organization (WHO) 1948, telah ditegaskan bahwa memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak asasi bagi setiap orang. Oleh karena itu, Pemerintah memiliki peran yang penting untuk mewujudkan hal tersebut karena kesehatan juga merupakan salah satu tanggung jawab dari Negara. Hal tersebut dapat terwujud melalui program-program kesehatan yang diselenggarakan Pemerintah.


Sebelum melihat upaya Pemerintah dalam mengatasi permasalahan kesehatan di Indonesia, kita perlu mengetahui kondisi kesehatan masyarakat Indonesia. Kondisi pembangunan kesehatan secara umum dapat dilihat dari status kesehatan dan gizi masyarakat, yaitu angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan, prevalensi gizi kurang dan umur angka harapan hidup. Berdasarkan hasil publikasi statistik Asean, dapat dilihat bahwa Indonesia mengalami peningkatan yang tak cukup signifikan (dari tahun 2005 ke 2012) dan masih kalah jauh dengan Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand (dapat dilihat dari tabel di bawah). Kembali lagi, hal ini akan menjadi permasalahan jika kondisi kesehatan masyarakat Indonesia tidak memadai sehingga tidak dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.






Sumber http://www.asean.org/images/resources/Statistics/2014/StatisticalPublications/asean%20stattistical%20yearbook%202013%20(publication).pdf


Melihat kondisi yang demikian, dapat disimpulkan bahwa kesehatan masyarakat Indonesia memang tiap tahun mengalami peningkatan, namun belum cukup untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam hal ini, AEC akan menjadi suatu tantangan baru bagi Indonesia. Apakah masyarakat siap menghadapi AEC jika kondisi kesehatannya tidak sebanding dengan warga negara ASEAN lainnya? Sebagai masyarakat Indonesia, kita perlu untuk perduli terhadap kesehatan diri sendiri. Tujuannya? Agar kita mampu bekerja dengan maksimal sehingga dapat mencapai produktifitas yang lebih tinggi. Selain itu, negara juga memiliki peranan yang penting dalam mewujudkan negara yang sehat. Pelayanan kesehatan juga menjadi salah satu faktor pendukung agar Indonesia mampu memberikan pelayanan yang memuaskan bagi Masyarakat Ekonomi Asean.



Sumber dan referensi:
http://www.asean.org/images/resources/Statistics/2014/StatisticalPublications/asean%20stattistical%20yearbook%202013%20(publication).pdf
http://www.depkes.go.id/article/print/15020400002/program-indonesia-sehat-untuk-atasi-masalah-kesehatan.html
http://www.depkes.go.id/resources/download/laporan/kinerja/lak-kemenkes-2013.pdf
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/07/25/rilis-undp-peringkat-pembangunan-manusia-indonesia-jalan-di-tempat-676455.html
http://health.kompas.com/read/2013/05/22/09522188/Soal.Kesehatan.Indonesia.Tertinggal.dari.Tetangga