Di penghujung tahun 2015 nanti akan resmi dimulainya sebuah era baru bagi ASEAN yang akan memulai sebuah integrasi negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia, dengan nama ASEAN Economic Community (AEC atau MEA, Masyarakat Ekonomi ASEAN). Tentunya menjadikan 10 negara ASEAN menjadi satu komunitas dan satu identitas bukanlah tugas mudah mengingat perbedaan sosial budaya, ekonomi, ideologi politik, dan kepentingan masing-masing negara. AEC akan menyentuh beberapa sektor vital dari sebuah negara, salah satunya kesehatan dengan fokus yang kita ambil adalah liberalisasi jasa praktisi medis (dokter). Bagaimanakah dampak dari penerapan AEC 2015 pada bidang jasa praktisi medis?
Sektor kesehatan merupakan sektor yang terus mengalami peningkatan permintaan seiring dengan perkembangan dinamika penduduk. Dengan rasio ideal 40 dokter umum untuk 100.000 penduduk, saat ini Indonesia masih mengalami kekurangan dokter dimana baru terpenuhi sebesar 77,43%. Untuk dokter spesialis, dengan rasio 8,14 untuk 100.000 penduduk, sebenarnya sudah melewati target Indonesia pada tahun 2010 dengan rasio 6 untuk 100.000 penduduk. Namun persebarannya tidak merata dengan sebagian besar masih terpusat di Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Hal ini juga terlihat di bidang pendidikan untuk dokter yang masih terpusat di Pulau Jawa. Bahkan untuk tingkat spesialis, 75% pendidikan ada di Pulau Jawa. Tidak heran hal ini akan berdampak pada distribusi dokter di Indonesia. Sebaiknya pemerintah segera meningkatkan competitiveness dari dokter-dokter Indonesia dengan meningkatkan standar kompetensi agar dapat menyamakan dengan tingkat kompetensi dokter negara ASEAN lainnya. Pemerintah juga dapat memperbanyak institusi pendidikan dokter dan memberi perhatian mengenai persebaran dokter di Indonesia yang masih timpang.
Dari total GDP, pemerintah hanya menganggarkan sebesar 2,2% sementara negara- negara ASEAN lain berada di atasnya dengan Filipina, Thailand, Kamboja berada di atas angka 3% dan Malaysia dan Vietnam mencapai angka 6%. Hal ini berdampak pada teknologi kedokteran yang sebagian besar (sekitar 90%) masih harus mengimpor dari luar negeri. Belum lagi dengan minimnya anggaran untuk pelatihan penguasaan teknologi. Hal ini sangat disayangkan mengingat sektor kesehatan sangat vital karena berhubungan langsung dengan ketahanan negara.
Untuk masalah regulasi, liberalisasi jasa dokter AEC di Indonesia diatur oleh Kementrian Kesehatan bekerja sama dengan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Pemerintah harus perhatian terhadap UU kesehatan, UU praktik kedokteran, dan UU tenaga kesehatan agar tercapai harmonisasi mengenai regulasi yang fair baik bagi dokter Indonesia maupun dokter asing.
Mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi memberikan 4 (empat) syarat praktik bagi dokter asing di Indonesia. Menurut penulis pribadi, dua dari empat syarat ini akan menyulitkan Indonesia untuk menerima dokter asing. Bisa dilihat pada poin pertama “Dokter asing hanya diperbolehkan jika di bidang yang ia kuasai, tidak ada tenaganya di sini”. Disini pemerintah tidak jelas dalam memberikan standar seperti standar skill dokter asing, standar dari kata-kata “tidak ada tenaganya”. Selain itu, dengan banyak dokter lokal di suatu bidang belum tentu skill-nya sudah mumpuni dan sesuai standar semua. Lalu pada poin kedua “Mereka yang diperbolehkan bekerja di Indonesia untuk transfer teknologi atau pengetahuan sehingga harus bernaung di bawah (RS) pendidikan, bukan RS yang tak menyelenggarakan fungsi pendidikan”, menurut penulis, regulasi ini sudah fair, namun akan menyulitkan dokter asing untuk bekerja di Indonesia karena ruang bekerjanya dipersempit. Hal ini akan mempersempit kesempatan dokter asing untuk melakukan transfer teknologi dan transfer pengetahuan ke dokter-dokter Indonesia.
Meskipun begitu, pemerintah sebaiknya juga memberikan regulasi yang dapat memberikan advantage bagi dokter Indonesia agar lebih kompetitif misalnya dengan memberikan persyaratan penguasaan bahasa Indonesia. Penguasaan bahasa ini juga penting untuk menjaga keamanan prosedur tindakan medis karena tidak semua pasien akan dapat berbahasa Inggris sebagai bahasa universal sehingga dokter asing yang praktik di Indonesia juga harus menguasai bahasa Indonesia.
Kesimpulannya adalah dalam bidang kesehatan khususnya dokter, Indonesia masih belum siap untuk menghadapi AEC 2015. Hal ini dinilai dari, yang pertama, SDM tenaga medis (dokter) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang masih kurang, selain itu juga masalah distribusi dokter dan pendidikan dokter yang masih terkonsentrasi di Jawa. Yang kedua adalah regulasi dari pemerintah sendiri yang masih mempersempit ruang gerak dokter asing dan masih harus memberikan celah bagi dokter Indonesia untuk dapat lebih kompetitif. Pemerintah perlu terus mengawal perencanaan dan regulasi hingga nanti implementasi mengenai sektor kesehatan demi menjamin adanya transfer teknologi dan pengetahuan dari tenaga medis asing dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan Indonesia mengingat vitalnya sektor ini dalam sebuah negara karena berhubungan langsung dengan ketahanan negara.
Sumber:
1. Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN (Makmur Keliat, Asra Virgianita, Shofwan Al Banna, Agus Catur Aryanto Putro), Laporan Penelitian ASEAN Study Center UI dan Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia
2. http://health.liputan6.com/read/707552/4-syarat-bila-dokter-asing-mau-praktik-di- indonesia
3. http://pendidikankedokteran.net/index.php/56-pelatihan-dekan/298-keadaan- pendidikan-kedokteran-di-indonesia
1. Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN (Makmur Keliat, Asra Virgianita, Shofwan Al Banna, Agus Catur Aryanto Putro), Laporan Penelitian ASEAN Study Center UI dan Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia
2. http://health.liputan6.com/read/707552/4-syarat-bila-dokter-asing-mau-praktik-di- indonesia
3. http://pendidikankedokteran.net/index.php/56-pelatihan-dekan/298-keadaan- pendidikan-kedokteran-di-indonesia




Tidak ada komentar:
Posting Komentar