Indonesia sebagai negara yang mengambil bagian dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) yang merupakan proyek negara anggota ASEAN yang bertujuan untuk meingkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN dan membentuk kawasan ekonomi antar negara ASEAN yang kuat. dalam cetak biru MEA, ada 12 sektor prioritas yang terdiri dari tujuh sektor barang yaitu industri agro, otomotif, elektronik, perikanan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, dan tekstil. Kemudian sisanya berasal dari lima sektor jasa yaitu transportasi udara, pariwisata, logistik, teknologi informasi, dan kesehatan.
Setelah memasuki Asean
Community 2015, nantinya batas-batas antarnegara menjadi imajiner sehingga arus
yang mengalir di sektor-sektor yang telah disebut diatas akan semakin bebas. Pada sektor
jasa kesehatan yang tercakup dalam pilar Asean Socio-Cultural Community, tenaga
kesehatan yang berada di negara anggota ASEAN dibebaskan untuk membuka praktek
di negara lain di wilayah Asia Tenggara meskipun dalam pelaksanaannya,
diberlakukan MRA (Mutual Recognition Arrangement) sebagai regulasi yang
berlaku. MRA untuk jasa dokter, dokter spesialis (Mutual Recognition Arrangement
on Medical Practitioners) ditandatangani di Cha am, Thailand pada tanggal 26
Februaari 2009 bersamaan dengan penandatangan MRA untuk sektor jasa dokter gigi
dental practitioners (Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners)
yang berlaku bagi dokter gigi, dokter gigi spesialis serta perawat gigi. Kedua
MRA tersebut bertujuan untuk:
1. Memfasilitasi mobilitas jasa tenaga kesehatan di dalam kawasan ASEAN;
2. Bertukar informasi dan menguatkan kerjasama dalam skema MRA jasa tenaga kesehatan;
3. Mempromosikan pengadopsian dan penerapan best practices (praktik terbaik) untuk standar dan kualifikasi;
4. Menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dan melatih para pelaku jasa medis.
Dengan jumlah penduduk
Indonesia yang merupakan terbesar di ASEAN akan menjadi ‘pasar’ yang sangat
menggiurkan bagi para tenaga kesehatan asing untuk kemudian membuka praktik di
Indonesia. Dengan penambahan tenaga kesehatan dari luar negeri, rasio tenaga
kesehatan per jumlah penduduk dipastikan akan meningkat. Di satu sisi , hal
tersebut seharusnya dapat menjadi peluang untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat Indonesia. Akan tetapi di sisi lain muncul tantangan bagi Indonesia dalam bidang
kesehatannya, yaitu tenaga kesehatan
dalam negeri dikhawatirkan kalah dalam persaingan dengan tenaga medis asing
dalam bidang pendidikan , infrastruktur, teknologi.
Berdasarkan data Centre for
Internasional Trade Thailand (2012), kualitas tenaga medis masih Indonesia
ditempatkan pada kualitas menengah. Adapun dalam hal teknologi, pendidikan
kedokteran dan kedokteran gigi di Indonesia dapat dikatakan tertinggal
dibandingkan dengan Malaysia, Filipina dan Singapura. Yang menjadi kendala
adalah dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk meningkatkan teknologi yang
ada sementara pemerintah hanya mengalokasikan 2,2 % dari total health
expenditure, jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Filipina
bahkan Vietnam yang telah mengalokasikan dana sebesar 6,6%. Hal ini menjadi
tantangan bagi sektor jasa praktisi medis untuk mengupayakan level kompetensi
dokter Indonesia yang setara dengan dokter / dokter gigi / perawat/ perawat
gigi dari negara tetangga/ASEAN lainnya.
Dalam bidang infrastruktur
kesehatan , Indonesia memiliki total 746 RSU
Pemerintah dan hanya 2 RSU yang masuk standar Internasional. Dari 746 RSU
Pemerintah hanya 67.5% yang mempunyai sarana pemeriksaan anti HIV, 66.7% yang memiliki
SPO pelayanan Gizi dan 62.9 % yang mampu membuat
formula khusus gizi buruk, 62.8 % belum ditunjang oleh adanya kamar operasi
yang baik dan lengkap. Dari total 746 RSU Pemerintah, hanya tersedia 101.039
buah tempat tidur untuk 230 juta jiwa rakyat Indonesia. Hanya terdapat 9005
Puskesmas untuk 230 Juta jiwa rakyat Indonesia yang berarti ada 1 puskesmas
berbanding 35.000 jiwa. Dari total 9005 Puskesmas, Hanya 18,6 Persen yg memiliki
sarana perawatan lengkap, 17.7 % yg dilengkapi fasilitas Listrik 24 Jam, hanya
56.7% yg memiliki alat komunikasi dan hanya 37,6 % yang memiliki Ambulans.
Melihat kondisi infrastruktur kesehatan Indonesia yang masih kurang baik bahkan
untuk kebutuhan dalam negeri. Peningkatan jumlah serta
pemaksimalan infrastruktur pendukung dalam hal ini teknologi yang digunakan
tenaga kesehatan pada instalasi kesehatan pemerintah dan juga pada institusi
pendidikan kesehatan yang memadai harus dilakukan sehingga daya saing, mutu dan
kualitas dari tenaga kesehatan Indonesia akan semakin meningkat terutama dalam
menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean.


















